Kamis, 29 Desember 2011

Menguak Kesialan di Bulan Safar dan Penangkalnya

Safar adalah nama bulan kedua tahun Hijriyah, sesudah bulan Muharram. Dari segi bahasa, Safar berarti pula penyakit kuning, lapar dan cacing perut. Bila dikatakan “Sifr” berarti kosong, nol bila dikatakan “Sufr” berarti kuning. Bila dikatakan Safr bararti bulan kedua sesudah Muharram. Pada masa Jahiliyyah dahulu, orang-orang Arab berangkat mengembara meninggalkan kediaman mereka pada bulan shafar sehingga rumah-rumah menjadi kosong (sifr), suatu ketika pernah mereka berangkat bertepatan musim panas dan kering, sehingga dedaunan menjadi kekuning-kunginan (sufr), dan banyaklah penderitaan yang mereka alami (Safar).
            Bulan safar sebenarnya bulan biasa, tidak terdapat adanya keistimewaan yang perlu menjadi sorotan. Dalam Al Qur’an bulan yang mendapat sorotan adalah bulan haram, Allah swt berfirman : “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetetapn Allah diwaktu Dia menciptakan langit dan bumi diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kami dalam bulan yang empat itu… (QS. At-taubah 36). Bulan-bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab; dimana pada keempat bulan tersebut tidak diperkenankan berperang. Ketetapan ini berlaku sejak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai kepada syari’at Nabi Muhammad saw (Al Qur’an dan Tafsirnya, Depag, 1995/1996, jilid X, hal. 135). Sementara itu, bulan yang secara khusus disebutkan di dalam Al Qur’an adalah bulan Ramadhan. Allah swt berfirman : “ Bulan Ramadhan, bulan yang diturunkan di dalamnya (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia…” (QS. Al Baqarah 185).
            Sebagian umat Islam menganggap bulan safar bulan pembawa kesialan, sehingga banyak diantara mereka yang tidak berani melakukan berbagai aktivitas kehidupan seperti walimah perkawinan, membangun rumah dan memulai perdagangan. Mereka berhati-hati pula dalam berkata-kata, karena bulan safar bulan panas, dimana emosi manusia sering bangkit karenanya mereka dianjurkan untuk tidak membawa senjata tajam ketika keluar rumah. Adapula yang membuang kesialan anak yang dilahirkan di bulan safar dengan acara tertentu yang disebut “batimang anak”. Hal ini nampaknya bukan saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah-daerah lain, sehingga di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 765 kita temukan kata-kata safar, ber-safar dimaksudkan ialah : “pergi, tahlil beramai-ramai ketempat keramat untuk menjauhkan diri dari bahaya pada bulan safar.
Image kesialan bulan safar sudah ada sejak dahulu dikalangan bangsa Arab, dimana disebutkan bahwa pada bulan safar setiap tahunnya turun tiga ratus dua puluh ribu bala yang dipancarkan keseluruh hari dalam setahun. Keterangan ini didapatkan pada buku “Kanz Al najah Wa Al Surur fi Al Ad’iyyah allati Tasyrah Al Shudur,” oleh Syekh Abdul Hamid Ali Quds, guru dan Imam di Masjid Al Haram Makkah, (1280 – 1334 H) hlm. 23; dalam selebaran tuan guru H. Jamhuri yang menyebutkan dikutif dari kitab : “Fath al malik Al Majid oleh Al Dairubi, hlm 78 dan juga pada buku “Risalah Amaliyah” oleh guru M. Khusairi Hamzah, hlm 230, dikatakan dikutif dari kitab “Fawaid Al Ukhrawiyyah”. Disebutkan pula bahwa hancurnya bendungan Ma’rib di Yaman terjadi pada bulan Safar. Seorang wanita Yahudi meracuni paha kambing masak yang disuguhkan kepada Nabi saw untuk membunuhnya, juga pada bulan Safarl; tetapi nabi saw selamat kecuali seorang sahabat bernama Barra bin Azib tewas karenanya.

Tidak ada komentar: